Jazim Hamidi
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono 169 Malang Jawa Timur
jazimub@gmail.com
Abstrak
Reformasi
2008 telah merubah paradigma bernegara Indonesia dari pemerintahan yang
sentralistik menuju desentralistik dengan menerapkan konsep otonomi
seluas-luasnya. Perubahan paradigma bernegara tersebut membawa pengaruh juga
dalam pembentukan dan analisis Peraturan Daerah yang berbasis konsep Roccipi, Fish Bone maupun
RIA(representasi
dari paradigma lama) menuju paradigma baru yaitu konsep SDER (Suistainable, Development,and
Engginering
Regulation). Metode penelitian yang digunakan yaitu
metode yuridis normatif dengan penedekatan perundang-undangan. Metode analisis
yang digunakan untuk memecahkan masalah hukum yang ada adalah yuridis
kualitatif. Hasil penelitian terhadap kedua Peraturan Daerah yaitu PERDA
tentang Pelayanan Publik dan PERDA tentang Keterbukaan Informasi Publik
menyimpulkan bahwa dengan menerapkan konsep SDER telah berhasil menggeser
paradigma pembentukan PERDA yang bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi
paradigma yang terintegrasi yaitu: state
and civilized integrited oriented.Implikasi
hukumnya adalah Program Legislasi Daerah harus diorientasikan pada perjuangan
reformasi regulasi lokal yang mensejahterakan masyarakatnya.
Pendahuluan
Perubahan paradigma bernegara
dari sentralistik menuju desentralistik telah melahirkan konsep otonomi daerah
sebagai sarana untuk mewujudkan kemandirian dan demokratisasi di daerah.
Seiring dengan gelombang reformasi 1998, telah menyebabkan terjadinya perubahan
kondisi dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia seperti dewasa ini. Pada
konteks tersebut, terbukalah peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengubah
paradigma pembangunan nasional dan wawasan
penyelenggaraan negara dari berparadigma politik dan
ekonomi pada masa sebelumnya menuju berparadigma hukum yang demokratis bagi
kesejahteraan
segenap warga negara.2
Jimly Asshiddiqie berpendapat3 bahwa
dalam rangka reformasi ke arah perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau
berwawasan hukum, maka hukum dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi
terlebih dulu. Secara simultan diikuti oleh reformasi politik, reformasi ekonomi, dan
reformasi sosial budaya. Dalam kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat
instrumental dalam rangka perwujudan gagasan reformasi politik, sosial, dan
ekonomi sekaligus. Artinya, langkah-langkah dan upaya-upaya reformasi yang
dilakukan di bidang politik, sosial, dan ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam
bentuk-bentuk norma aturan hukum yang baru, sehingga gagasan perbaikan yang
dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam bentuk hukum yang dapat dijadikan
pegangan normatif di masa depan.
Mengacu pada pendapat di atas,
maka isu sentral reformasi itu dapat dibagi ke dalam tiga agenda besar yaitu:4 Pertama dapat
disebut dengan agenda reformasi institusional (institutional reform) yang
terus menerus perlu dilanjutkan penataannya sampai terbentuknya institusi yang
kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal.
Agenda kedua reformasi instrumental (instrumental reform) yang
menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke
peraturan-peraturan pada tingkatan terrendah seperti Peraturan Daerah
Kabupaten dan Peraturan Desa. Terakhir agenda ketiga yang dinamakan dengan reformasi budaya (cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola
perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang
perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan
mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang. Salah satu
aspek yang hendak dikaji dan dikritisi oleh tim penulis lebih
menitikberatkan pada permasalahan hukum terkait
dengan pelaksanaan otonomi daerah dan politik hukum perundang-undangan di
tingkat lokal. Masa transisi dari pemerintahan yang sentralistik ke
desentralistik ini menghendaki setiap daerah baik di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya.5Kebijakan
otonomi dan desentralisasi ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin
agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dalam
sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah berupa
besarnya jurang ketidak-adilan dalam struktural hubungan
antara pusat dan daerah. Untuk menjamin agar
perasaan diperlakukan tidak adil di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak
makin meluas dan terus meningkat, yang pada gilirannya akan sangat membahayakan
integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus
diterapkan dalam waktu yang secepatcepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan
daerah sendiri.
Kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari
atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar
keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah
sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah
itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah itu tidak akan
berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar
untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri. Salah satu wujud
penguatan komitmen terhadap pelaksanaan otonomi daerah dibentuklah UU No. 32
Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999. Sebagai
bentuk penguatan dan kemandirian daerah maka konteks
otonomi daerah memberikan ruang partisipasi publik seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk turut serta dalam mengambil kebijakan di tingkat lokal.
Sebagai langkah konkrit untuk mewadahi hak dan kewajiban pemerintahan daerah
sebagaimana telah dijelaskan di atas tentunya dibutuhkan adanya suatu instrumen
yuridis dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan
pembangunan di daerah.
Wujud instrumen yuridis sebagaimana dimaksud hadir
dalam bentuk produk hukum daerah baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking).
Banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai namun demikian dalam kerangka
implementasi masih juga meninggalkan berbagai persoalan mendasar. Permasalahan
produk hukum sebagaimana dimaksud nampak dari adanya sejumlah pembatalan
Peraturan daerah (Perda) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui
mekanisme eksekutif review maupun pengujian melalui
Mahkamah Agung atau dikenal dengan istilah judicial review. Pada konteks pengujian (review) yang yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif
tersebut dapat dipahami bahwa regulasi ditingkat lokal masih menunjukkan
adanya permasalahan hukum yang berdampak sistemik dan meluas
terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Terhadap pengaturan ditingkat lokal perlu dipahami bersama bahwa tidak semua
hal harus diatur dengan Perda.6 Pada dasarnya perda dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.7
Peraturan Daerah yang mengatur
urusan rumah tangga daerah yang bersumber dari otonomi, jauh lebih luas atau
penuh dibandingkan dengan yang bersumber dari tugas pembantuan. Di bidang
otonomi, Perda dapat mengatur urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah,
baik mengenai substansi maupun cara-cara menyelenggarakan urusan pemerintahan
tersebut. Sementara di bidang tugas pembantuan, Perda tidak mengatur substansi
urusan pemerintahan, melainkan terbatas mengenai cara-cara menyelenggarakan
urusan yang memerlukan bantuan. Dalam hal ini daerah memiliki kebebasan
sepenuhnya mengatur cara melaksanakan tugas pembantuan.8 Selain
itu Perda juga bisa mengatur penjabaran peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada
persoalan: Pertama, apa yang menjadi dasar pentingnya paradigma baru
dalam menganalisis produk hukum daerah yang menggeser paradigma bernegara yang
bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi
paradigma state and civilized
integrited oriented? Kedua,
bagaimana paradigma state and civilized
integrited oriented diimplementasikan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pentingnya paradigma baru dalam menganalisis produk hukum daerah
yang menggeser paradigma bernegara yang bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi
paradigma state and civilized integrited oriented,
dan metode pengimplementasian paradigma state and civilized
integrited oriented.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian yuridis, yang menggunakan bahan hukum primer berupa: Perda Provinsi
Jawa Timur No. 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik dan Perda Kota Bekasi No.
18 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahan hukum sekunder yang
digunakan berupa literatur, hasil penelitian terdahulu, dan peraturan
perundang-undangan yang relevan. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan. Metode analisis yang digunakan untuk memecahkan
masalah hukum yang ada adalah yuridis kualitatif.
Dasar Pertimbangan Pentingnya Paradigma Baru
Analisis Terhadap Produk
Hukum Daerah
Kompleksitas pembatalan terhadap produk hukum daerah
yang berbentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah maupun
bentuk yang lainnya merupakan keniscayaan dalam mewujudkan peran dan fungsi
hukum dalam menopang proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan
sejahtera. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Bari Azed22 bahwa
Peraturan Daerah merupakan salah satu sarana transformasi sosial dan demokrasi
sebagai perwujudan kemampuan masyarakat daerah untuk menjawab perubahan yang
cepat dan tantangan pada era otonomi saat ini, serta mewujudkan good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang
berkesinambungan di daerah. Melalui mekanisme pembentukan Peraturan daerah yang
berencana, aspiratif dan berkualitas, maka Perda dapat menciptakan multiplier effect yakni menjadi penggerak utama bagi
perubahan-perubahan mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat dan
pemerintahan yang diperlukan oleh daerah yang bersangkutan. Berpangkal dari
uraian di atas, maka kehadiran paradigma baru dalam menganalisis peraturan
perundang-undangan khususnya produk hukum daerah sangat dibutuhkan, mengingat
bahwa kompleksitas analisis terhadap produk hukum daerah yang berjalan selama
ini hanya bersifat konvensional semata dan dianggap belum mampu memberikan
jawaban atas tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya pelibatan secara
aktif. jika dicermati secara seksama maka problematika yang di timbulkan dengan
adanya pembatalan peraturan daerah maupun produk hukum daerah yang lainnya
antara lain: a. dari aspek ekonomi pembatalan suatu Peraturan Daerah maupun
produk hukum daerah lainnya merupakan bentuk
inefisiensi anggaran mengingat bahwa pembentukan
suatu produk hukum menghabiskan biaya yang relatif besar; b. dari aspek sosial
pembatalan suatu Peraturan Daerah secara massif dapat menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat (distrust) terhadap jalannya pemerintahan di daerah mengingat
bahwa prinsip kedaulatan rakyat yang termanifestasi kedalam sistem Pilkada
langsung telah memberikan mandat rakyat terhadap terbentuknya pemerintahan yang
baru; c. dari aspek yuridis menunjukkan bahwa lemahnya kualitas pembentuk
peraturan daerah sehingga hal ini berujung pula pada konteks lemahnya peran dan
fungsi edukasi maupun pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah; d. dari aspek politis lemahnya sistem check and balances dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah bisa menjadikan problematika pembentukan
maupun pembatalan peraturan daerah sebagai intsrumen untuk memakzulkan Kepala
daerah. Contoh kasus Walikota Surabaya. Berdasarkan uraian di atas maka
terdapat suatu argumentasi dan alasan-alasan ilmiah kenapa harus ada paradigma
baru dalam membentuk maupun menganalisis suatu produk hukum daerah. Kehadiran
paradigma sebagaimana dimaksud tidak akan pernah terlepas dari relasi antara
negara (state) yang menjalankan fungsi pemerintahan dan masyarakat (civil society). Perihal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh
Ibnu Tricahyo23 bahwa negara selalu dipasangkan dengan warga atau
rakyat. Dimana ada negara disitu selalu ada warga atau rakyat. Bagaimana kedua
hal ini berhubungan? Negara sering dilihat sebagai suatu kontrak antar warga/
rakyat di mana rakyat menyerahkan sebagian haknya untuk menjadi kekuasaan
negara yang direpresentasikan oleh pejabat negara dan birokrasinya. Demikian
halnya kekuasaan juga bisa dilihat sebagai gejala sosial atau produk dari
perkembangan sosial (independent variable). Kekuasaan mencerminkan pemenuhan pelayanan dan
perlindungan rakyatnya, sehingga corak dari pelaksanaan kekuasaan seperti ini
lebih populis dan responsif atas kebutuhan pelayanan kepada warganya.
Pemerintahan yang populis seperti ini menjadi trend negara-negara dunia untuk
merubah paradigma dari negara kekuasaan menjadi negara hukum yang melaksanakan
fungsi pelayanan.24 Pendapat di atas diperkuat oleh Jazim Hamidi bahwa
kecenderungan dunia dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publiknya,
dewasa ini sudah mengalami pergeseran paradigma bernegara yang digunakan yaitu
dari state oriented menuju civilize oriented.25Hal ini sejalan dengan derasnya tuntutan akan peran
serta masyarakat dalam era gelombang demokrasi partisipatif menuju terciptanya
kehidupan bermasyarakat yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, damai,
dan sejahtera. Adalah wajar, kalau semua pemerintahan di dunia sekarang ini
berada dalam tekanan untuk dapat bekerja lebih baik: efektif, efisien, ekonomis
(to maximize results and minimize costs). Upaya-upaya yang dilakukan seperti reinventing, reengineering, horizontal administration, responsive government dan lain sebagainya semuanya telah dilakukan agar
pemerintahan dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Tantangan ini
telah merubah peran pemerintah dari sekedar memberikan pelayanan seadanya
secara rutin menjadi melayani semua kebutuhan pelayanan masyarakat dengan mutu
yang tinggi (high quality services). Konsekuensinya, semua pemerintahan di dunia
bersaing untuk menggagas inisiatif baru tentang upaya meningkatkan standar
kinerja pelayanannya publik agar dapat memenuhi dan kalau bisa melebihi
keinginan dan harapan masyrakat. Berdasarkan kedua pendapat di atas, tim
penulis berpendapat bahwa dalam konteks penyelenggaraan negara tidak bisa
dilihat dari aspek negara (state) maupun
aspek masyarakat yang dilakukan secara parsial. Karena konsep pembangunan pada sasarannya
adalah terwujudnya kesadaran kolektif antara negara dan masyarakat sehingga
akan melahirkan hubungan kemitraan yang oleh penulis paradigma yang akan
digagas justru berorientasi pada negara-masyarakat (state and civilizedintegrited oriented).26
Paradigma baru sebagaimana dimaksud, secara sederhana dapat
digambarkan seperti berikut ini:
Gambar 1
Landasan Pembentukan Paradigma
Baru
Analisis Peraturan
Perundang-Undangan

Mengacu pada gambar di atas dalam konteks perumususn
peraturan daerah maupun produk hukum daerah lainnya, berada pada diskursus
ruang partisipasi publik. Peran hukum dalam masyarakat memang sering
menimbulkan banyakpersoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur
yang sah dalamnegara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan
untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah
masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa
tujuan utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.27 Berdasarkan
hal tersebut maka perlu dipahami sistem hukum nasional harus dipahami dalam
kerangka fungsifungsi atau kegiatan-kegiatan:28 (1) pembuatan hukum (law making process), yaitu menyangkut kegiatan-kegiatan penelitian,
perencanaan, perancangan, pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menjadi
peraturan resmi; (2) pengadministrasian hukum (the administration of law), yaitu menyangkut kegiatan pengadministrasian
dalam arti sempit berupa penomeran, penerbitan, pengumuman, dan
pendokumentasian, ataupun dalam arti luas mencakup pelaksanaan atau penerapan
hukum dalam praktek penyelenggaraan negara; (3) pemasyarakatan hukum (the socialization and promulgation
of law),
yaitu menyangkut kegiatan penyebarluasan dan pemasyarakatan infomasi peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam ilmu hukum dikenal adanya teori fiksi yang
menentukan bahwa pada saat suatu peraturan diundangkan, maka pada waktu yang
bersamaan semua orang sudah dianggap tahu hukum. Padahal dalam kenyataannya, teori fiksi itu hanyalah teori hayalan. Di sinilah pentingnya e-parlianment dan e-governance; (4)
penegakan hukum (the enforcement of law),
yaitu menyangkut kegiatan
pengawasan terhadap penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
penghakiman, dan pemidanaan atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan
eksekusi putusan, dan kegiatan pemasyarakatan kembali (resosialisasi).
Daftar Pustaka
Arrsa, Ria Casmi, Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen, Hibah, 2007.
Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, tidak dipublikasikan.
Astawa, I Gede Pantja, 2008, Problematika Hukum Otonomi Daerah di
Indonesia. Bandung:
Alumni
Asshidiqie, Jimly, Otonomi daerah dan Parlemen di daerah, Makalah Disampaikan dalam “Lokakarya tentang
Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang
diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences
(IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.
______, Makalah, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi
Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Disampaikan dalam forum Seminar
International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa Indonesia
Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern University, Chicago, Amerika
Serikat, 28 Oktober 2000
______, Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan
Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum, Makalah disampaikan pada
Pertemuan Nasional Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005,
diakses dari http:// www.jimly.com, diakses pada tanggal 10 Februari
2011.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005, hal. VI-1. Periksa
juga dalam P. Agung Pambudi. “Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi XIV Tahun IV Oktober Desember 2006.
Fadjar, Abdul Mukhtie, 2010, Amandemen UUD 1945 dan Perubahan Paradigma
Bernegara, Makalah disampaikan pada Diklat Legislative Drafting
Regional Jawa Timur PP Otoda Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang
Fadli, Penguatan Fungsi Legislasi DPRD, Makalah untuk Simposium Nasional Satu Dasawarsa
Pelaksanaan Otonomi Daerah diselenggarakan oleh PP Otoda FH UB, Malang, 1-2
Desember 2010.
Hamidi, Jazim, Paradigama Baru Kebijakan Pelayanan Publik Yang Pro Civil
Society Dan Berbasis Hukum, Makalah tidak dipublikasikan.
Kusumaatmadja, Mochtar, “Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam
Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002.
Local Government Support Program, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah
Buku Pegangan untuk DPRD, Jakarta: Publikasi ini didanai
oleh the United States Agency for International Development (USAID), 2007.
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum: Upaya Menjaga Jati Diri Dan
Martabat Bangsa,Makalah dalam Konvensi Kampus
VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di
Universitas Tanjungpura Pontianak, 9 Januari 2010.
Manan, Bagir, Politik Perundang-undangan dalam rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Ekonomi, makalah
disampaikan pada Seminar Nasional tentang Perseroan Terbatas,
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 9 Maret 1996.
Natabaya, H.A.S., Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
(Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S, Natabaya), Jakarta: Sekretarian Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Pandji, “Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance”, Cetakan ke dua, Bandung PT. Refika Adimata, 2009.
Raharjo, Satjipto, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2009.
Safaat Muchammad Ali, dkk., Duri Dalam Demokrasi (Menengok Peran Militer
di Indonesia),
Yayasan Enlighment, Malang, 2000.
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Tricahyo, Ibnu, Urgensi Pengaturan tentang Pelayanan Publik, Makalah tidak dipublikasikan, 2005.
Wahab, Solichin A., Masa Depan Otonomi Daerah (Kajian Sosial,
Ekonomi, Politik, untuk menciptakan sinergi dalam Pembangunan Daerah). Surabaya: Penerbit SIC, 2002.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya
(Demi Terealisasinya Keadilan Sosial) Sepanjang 10 Tahun Reformasi (1998-2008),
Pokokpokok pikiran
tentang masalah tersebut dalam judul, diketengahkan dalam suatu
diskusi panel dalam sidang Lokakarya Nasional VII Hak Asasi Manusia
yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia
di Hotel Borobudur, Jakarta 9 Juli 2008. UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Perda Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan
Publik. Perda Kota Bekasi No. 18 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
Nama anggota kelompok :
-Herdian Perdana (23212417)
-Bayu Prakoso (21212394)
-Rakayuda Saputra (25212967)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar