Minggu, 04 Mei 2014

Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah1 (Studi Atas Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi Publik)



Jazim Hamidi
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono 169 Malang Jawa Timur
jazimub@gmail.com

Abstrak
Reformasi 2008 telah merubah paradigma bernegara Indonesia dari pemerintahan yang sentralistik menuju desentralistik dengan menerapkan konsep otonomi seluas-luasnya. Perubahan paradigma bernegara tersebut membawa pengaruh juga dalam pembentukan dan analisis Peraturan Daerah yang berbasis konsep Roccipi, Fish Bone maupun RIA(representasi dari paradigma lama) menuju paradigma baru yaitu konsep SDER (Suistainable, Development,and Engginering Regulation). Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis normatif dengan penedekatan perundang-undangan. Metode analisis yang digunakan untuk memecahkan masalah hukum yang ada adalah yuridis kualitatif. Hasil penelitian terhadap kedua Peraturan Daerah yaitu PERDA tentang Pelayanan Publik dan PERDA tentang Keterbukaan Informasi Publik menyimpulkan bahwa dengan menerapkan konsep SDER telah berhasil menggeser paradigma pembentukan PERDA yang bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi paradigma yang terintegrasi yaitu: state and civilized integrited oriented.Implikasi hukumnya adalah Program Legislasi Daerah harus diorientasikan pada perjuangan reformasi regulasi lokal yang mensejahterakan masyarakatnya.

Pendahuluan

Perubahan paradigma bernegara dari sentralistik menuju desentralistik telah melahirkan konsep otonomi daerah sebagai sarana untuk mewujudkan kemandirian dan demokratisasi di daerah. Seiring dengan gelombang reformasi 1998, telah menyebabkan terjadinya perubahan kondisi dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia seperti dewasa ini. Pada konteks tersebut, terbukalah peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengubah paradigma pembangunan nasional dan wawasan
penyelenggaraan negara dari berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menuju berparadigma hukum yang demokratis bagi kesejahteraan
segenap warga negara.2
Jimly Asshiddiqie berpendapat3 bahwa dalam rangka reformasi ke arah perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau berwawasan hukum, maka hukum dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi terlebih dulu. Secara simultan diikuti oleh reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi sosial budaya. Dalam kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat instrumental dalam rangka perwujudan gagasan reformasi politik, sosial, dan ekonomi sekaligus. Artinya, langkah-langkah dan upaya-upaya reformasi yang dilakukan di bidang politik, sosial, dan ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam bentuk-bentuk norma aturan hukum yang baru, sehingga gagasan perbaikan yang dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam bentuk hukum yang dapat dijadikan pegangan normatif di masa depan.

Mengacu pada pendapat di atas, maka isu sentral reformasi itu dapat dibagi ke dalam tiga agenda besar yaitu:4 Pertama dapat disebut dengan agenda reformasi institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu dilanjutkan penataannya sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal. Agenda kedua reformasi instrumental (instrumental reform) yang menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan pada tingkatan terrendah seperti Peraturan Daerah
Kabupaten dan Peraturan Desa. Terakhir agenda ketiga yang dinamakan dengan reformasi budaya (cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang. Salah satu aspek yang hendak dikaji dan dikritisi oleh tim penulis lebih
menitikberatkan pada permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dan politik hukum perundang-undangan di tingkat lokal. Masa transisi dari pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik ini menghendaki setiap daerah baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota untuk melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya.5Kebijakan otonomi dan desentralisasi ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah berupa besarnya jurang ketidak-adilan dalam struktural hubungan
antara pusat dan daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat, yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepatcepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan
berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri. Salah satu wujud penguatan komitmen terhadap pelaksanaan otonomi daerah dibentuklah UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999. Sebagai
bentuk penguatan dan kemandirian daerah maka konteks otonomi daerah memberikan ruang partisipasi publik seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut serta dalam mengambil kebijakan di tingkat lokal. Sebagai langkah konkrit untuk mewadahi hak dan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana telah dijelaskan di atas tentunya dibutuhkan adanya suatu instrumen yuridis dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan pembangunan di daerah.
Wujud instrumen yuridis sebagaimana dimaksud hadir dalam bentuk produk hukum daerah baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking). Banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai namun demikian dalam kerangka implementasi masih juga meninggalkan berbagai persoalan mendasar. Permasalahan produk hukum sebagaimana dimaksud nampak dari adanya sejumlah pembatalan Peraturan daerah (Perda) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui mekanisme eksekutif review maupun pengujian melalui
Mahkamah Agung atau dikenal dengan istilah judicial review. Pada konteks pengujian (review) yang yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif tersebut dapat dipahami bahwa regulasi ditingkat lokal masih menunjukkan adanya permasalahan hukum yang berdampak sistemik dan meluas
terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terhadap pengaturan ditingkat lokal perlu dipahami bersama bahwa tidak semua hal harus diatur dengan Perda.6 Pada dasarnya perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.7

Peraturan Daerah yang mengatur urusan rumah tangga daerah yang bersumber dari otonomi, jauh lebih luas atau penuh dibandingkan dengan yang bersumber dari tugas pembantuan. Di bidang otonomi, Perda dapat mengatur urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah, baik mengenai substansi maupun cara-cara menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Sementara di bidang tugas pembantuan, Perda tidak mengatur substansi urusan pemerintahan, melainkan terbatas mengenai cara-cara menyelenggarakan urusan yang memerlukan bantuan. Dalam hal ini daerah memiliki kebebasan sepenuhnya mengatur cara melaksanakan tugas pembantuan.8 Selain itu Perda juga bisa mengatur penjabaran peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.



Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada persoalan: Pertama, apa yang menjadi dasar pentingnya paradigma baru dalam menganalisis produk hukum daerah yang menggeser paradigma bernegara yang bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi paradigma state and civilized integrited oriented? Kedua, bagaimana paradigma state and civilized integrited oriented diimplementasikan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya paradigma baru dalam menganalisis produk hukum daerah yang menggeser paradigma bernegara yang bercorak state oriented maupun civilized oriented menjadi paradigma state and civilized integrited oriented, dan metode pengimplementasian paradigma state and civilized integrited oriented.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis, yang menggunakan bahan hukum primer berupa: Perda Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik dan Perda Kota Bekasi No. 18 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa literatur, hasil penelitian terdahulu, dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Metode analisis yang digunakan untuk memecahkan masalah hukum yang ada adalah yuridis kualitatif.





Dasar Pertimbangan Pentingnya Paradigma Baru Analisis Terhadap Produk
Hukum Daerah


Kompleksitas pembatalan terhadap produk hukum daerah yang berbentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah maupun bentuk yang lainnya merupakan keniscayaan dalam mewujudkan peran dan fungsi hukum dalam menopang proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Bari Azed22 bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu sarana transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan kemampuan masyarakat daerah untuk menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi saat ini, serta mewujudkan good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang berkesinambungan di daerah. Melalui mekanisme pembentukan Peraturan daerah yang berencana, aspiratif dan berkualitas, maka Perda dapat menciptakan multiplier effect yakni menjadi penggerak utama bagi perubahan-perubahan mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang diperlukan oleh daerah yang bersangkutan. Berpangkal dari uraian di atas, maka kehadiran paradigma baru dalam menganalisis peraturan perundang-undangan khususnya produk hukum daerah sangat dibutuhkan, mengingat bahwa kompleksitas analisis terhadap produk hukum daerah yang berjalan selama ini hanya bersifat konvensional semata dan dianggap belum mampu memberikan jawaban atas tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya pelibatan secara aktif. jika dicermati secara seksama maka problematika yang di timbulkan dengan adanya pembatalan peraturan daerah maupun produk hukum daerah yang lainnya antara lain: a. dari aspek ekonomi pembatalan suatu Peraturan Daerah maupun produk hukum daerah lainnya merupakan bentuk
inefisiensi anggaran mengingat bahwa pembentukan suatu produk hukum menghabiskan biaya yang relatif besar; b. dari aspek sosial pembatalan suatu Peraturan Daerah secara massif dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (distrust) terhadap jalannya pemerintahan di daerah mengingat bahwa prinsip kedaulatan rakyat yang termanifestasi kedalam sistem Pilkada langsung telah memberikan mandat rakyat terhadap terbentuknya pemerintahan yang baru; c. dari aspek yuridis menunjukkan bahwa lemahnya kualitas pembentuk peraturan daerah sehingga hal ini berujung pula pada konteks lemahnya peran dan fungsi edukasi maupun pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah; d. dari aspek politis lemahnya sistem check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah bisa menjadikan problematika pembentukan maupun pembatalan peraturan daerah sebagai intsrumen untuk memakzulkan Kepala daerah. Contoh kasus Walikota Surabaya. Berdasarkan uraian di atas maka terdapat suatu argumentasi dan alasan-alasan ilmiah kenapa harus ada paradigma baru dalam membentuk maupun menganalisis suatu produk hukum daerah. Kehadiran paradigma sebagaimana dimaksud tidak akan pernah terlepas dari relasi antara negara (state) yang menjalankan fungsi pemerintahan dan masyarakat (civil society). Perihal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibnu Tricahyo23 bahwa negara selalu dipasangkan dengan warga atau rakyat. Dimana ada negara disitu selalu ada warga atau rakyat. Bagaimana kedua hal ini berhubungan? Negara sering dilihat sebagai suatu kontrak antar warga/ rakyat di mana rakyat menyerahkan sebagian haknya untuk menjadi kekuasaan negara yang direpresentasikan oleh pejabat negara dan birokrasinya. Demikian halnya kekuasaan juga bisa dilihat sebagai gejala sosial atau produk dari perkembangan sosial (independent variable). Kekuasaan mencerminkan pemenuhan pelayanan dan perlindungan rakyatnya, sehingga corak dari pelaksanaan kekuasaan seperti ini lebih populis dan responsif atas kebutuhan pelayanan kepada warganya. Pemerintahan yang populis seperti ini menjadi trend negara-negara dunia untuk merubah paradigma dari negara kekuasaan menjadi negara hukum yang melaksanakan fungsi pelayanan.24 Pendapat di atas diperkuat oleh Jazim Hamidi bahwa kecenderungan dunia dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publiknya, dewasa ini sudah mengalami pergeseran paradigma bernegara yang digunakan yaitu dari state oriented menuju civilize oriented.25Hal ini sejalan dengan derasnya tuntutan akan peran serta masyarakat dalam era gelombang demokrasi partisipatif menuju terciptanya kehidupan bermasyarakat yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, damai, dan sejahtera. Adalah wajar, kalau semua pemerintahan di dunia sekarang ini berada dalam tekanan untuk dapat bekerja lebih baik: efektif, efisien, ekonomis (to maximize results and minimize costs). Upaya-upaya yang dilakukan seperti reinventing, reengineering, horizontal administration, responsive government dan lain sebagainya semuanya telah dilakukan agar pemerintahan dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Tantangan ini telah merubah peran pemerintah dari sekedar memberikan pelayanan seadanya secara rutin menjadi melayani semua kebutuhan pelayanan masyarakat dengan mutu yang tinggi (high quality services). Konsekuensinya, semua pemerintahan di dunia bersaing untuk menggagas inisiatif baru tentang upaya meningkatkan standar kinerja pelayanannya publik agar dapat memenuhi dan kalau bisa melebihi keinginan dan harapan masyrakat. Berdasarkan kedua pendapat di atas, tim penulis berpendapat bahwa dalam konteks penyelenggaraan negara tidak bisa dilihat dari aspek negara (state) maupun aspek masyarakat yang dilakukan secara parsial. Karena konsep pembangunan pada sasarannya adalah terwujudnya kesadaran kolektif antara negara dan masyarakat sehingga akan melahirkan hubungan kemitraan yang oleh penulis paradigma yang akan digagas justru berorientasi pada negara-masyarakat (state and civilizedintegrited oriented).26
Paradigma baru sebagaimana dimaksud, secara sederhana dapat digambarkan seperti berikut ini:

Gambar 1
Landasan Pembentukan Paradigma Baru
Analisis Peraturan Perundang-Undangan



Mengacu pada gambar di atas dalam konteks perumususn peraturan daerah maupun produk hukum daerah lainnya, berada pada diskursus ruang partisipasi publik. Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyakpersoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalamnegara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah
masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.27 Berdasarkan hal tersebut maka perlu dipahami sistem hukum nasional harus dipahami dalam kerangka fungsifungsi atau kegiatan-kegiatan:28 (1) pembuatan hukum (law making process), yaitu menyangkut kegiatan-kegiatan penelitian, perencanaan, perancangan, pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menjadi peraturan resmi; (2) pengadministrasian hukum (the administration of law), yaitu menyangkut kegiatan pengadministrasian dalam arti sempit berupa penomeran, penerbitan, pengumuman, dan pendokumentasian, ataupun dalam arti luas mencakup pelaksanaan atau penerapan hukum dalam praktek penyelenggaraan negara; (3) pemasyarakatan hukum (the socialization and promulgation
of law), yaitu menyangkut kegiatan penyebarluasan dan pemasyarakatan infomasi peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam ilmu hukum dikenal adanya teori fiksi yang menentukan bahwa pada saat suatu peraturan diundangkan, maka pada waktu yang bersamaan semua orang sudah dianggap tahu hukum. Padahal dalam kenyataannya, teori fiksi itu hanyalah teori hayalan. Di sinilah pentingnya e-parlianment dan e-governance; (4) penegakan hukum (the enforcement of law), yaitu menyangkut kegiatan pengawasan terhadap penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pemidanaan atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan eksekusi putusan, dan kegiatan pemasyarakatan kembali (resosialisasi).


Daftar Pustaka
Arrsa, Ria Casmi, Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen, Hibah, 2007.

Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tidak dipublikasikan.

Astawa, I Gede Pantja, 2008, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung:
Alumni

Asshidiqie, Jimly, Otonomi daerah dan Parlemen di daerah, Makalah Disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.

______, Makalah, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Disampaikan dalam forum Seminar International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa Indonesia Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, 28 Oktober 2000

______, Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum, Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005, diakses dari http:// www.jimly.com, diakses pada tanggal 10 Februari 2011.
Direktorat Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Agustus 2005, hal. VI-1. Periksa juga dalam P. Agung Pambudi. “Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi XIV Tahun IV Oktober Desember 2006.

Fadjar, Abdul Mukhtie, 2010, Amandemen UUD 1945 dan Perubahan Paradigma Bernegara, Makalah disampaikan pada Diklat Legislative Drafting Regional Jawa Timur PP Otoda Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang

Fadli, Penguatan Fungsi Legislasi DPRD, Makalah untuk Simposium Nasional Satu Dasawarsa Pelaksanaan Otonomi Daerah diselenggarakan oleh PP Otoda FH UB, Malang, 1-2 Desember 2010.

Hamidi, Jazim, Paradigama Baru Kebijakan Pelayanan Publik Yang Pro Civil Society Dan Berbasis Hukum, Makalah tidak dipublikasikan.

Kusumaatmadja, Mochtar, “Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002.

Local Government Support Program, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah Buku Pegangan untuk DPRD, Jakarta: Publikasi ini didanai oleh the United States Agency for International Development (USAID), 2007.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2009.

Mahfud MD, Keniscayaan Reformasi Hukum: Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa,Makalah dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura Pontianak, 9 Januari 2010.

Manan, Bagir, Politik Perundang-undangan dalam rangka Mengantisipasi Liberalisasi Ekonomi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Perseroan Terbatas, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 9 Maret 1996.

Natabaya, H.A.S., Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia (Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S, Natabaya), Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Pandji, “Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance”, Cetakan ke dua, Bandung PT. Refika Adimata, 2009.

Raharjo, Satjipto, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2009.

Safaat Muchammad Ali, dkk., Duri Dalam Demokrasi (Menengok Peran Militer di Indonesia),
Yayasan Enlighment, Malang, 2000.

Sidharta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Tricahyo, Ibnu, Urgensi Pengaturan tentang Pelayanan Publik, Makalah tidak dipublikasikan, 2005.

Wahab, Solichin A., Masa Depan Otonomi Daerah (Kajian Sosial, Ekonomi, Politik, untuk menciptakan sinergi dalam Pembangunan Daerah). Surabaya: Penerbit SIC, 2002.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya (Demi Terealisasinya Keadilan Sosial) Sepanjang 10 Tahun Reformasi (1998-2008), Pokokpokok pikiran tentang masalah tersebut dalam judul, diketengahkan dalam suatu diskusi panel dalam sidang Lokakarya Nasional VII Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia di Hotel Borobudur, Jakarta 9 Juli 2008. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Perda Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik. Perda Kota Bekasi No. 18 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Nama anggota kelompok :

-Herdian Perdana (23212417)
-Bayu Prakoso (21212394)
-Rakayuda Saputra (25212967)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar