Darwin Ginting
Sekplah Tinggi Hukum Bandung
Jl. Cihampelas No. 8 Bandung
Abstrak
Penelitian ini mengkaji format
kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah
perorangan dan penanaman modal di bidang agrobisnis. Penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Pengolahan
dan analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa pertama, perlu segera dilakukan pembentukan rancangan
undang-undang hak atas tanah, sehingga dapat menunjang kepastian hak atas tanah
bagi perorangan dan kepastian hukum bagi setiap sektor penanaman modal, lebih
khususnya bidang agrobisnis; kedua, pembentukan perundang-undangan tersebut mengedepankan
aspirasi masyarakat dan masyarakat industri bidang agrobisnis.
Pendahuluan
Sebelum membahas secara detail dan komprehensif
mengenai reformasi hukum tanah dalam rangka perlindungan hak atas tanah
perorangan dan penanaman modal (investor), maka terlebih dahulu diuraikan
mengenai istilah reformasi, dengan maksud agar tidak terjadi salah pengertian
tentang reformasi itu. Istilah reformasi mulai dikenal oleh masyarakat
Indonesia sejak tumbangnya Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dari kursi
pemerintahannya. Kata reformasi1 itu sendiri dikenal dalam berbagai bahasa, seperti
kata reforme dalam bahasa Perancis yang berarti perubahan atau
pembaharuan.2 Dalam bahasa Spanyol dengan istilah reforma yang berarti perbaikan atau pembaharuan.3 Di dalam
bahasa Belanda terdapat kata reformatie yang
berarti reformasi,4 yang juga dijumpai dalam bahasa Inggris dengan kata reformation,5 sama pengertian dalam bahasa Belanda yang berarti reformasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata reformasi diartikan
sebagai perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama)
di suatu masyarakat atau negara.6 Reformasi hukum itu sendiri adalah upaya-upaya
perubahan secara radikal sistem hukum, yang didalamnya terdapat : Pertama, cara berpikir terhadap hukum yang selama ini masih dipengaruhi
oleh ajaran Austin dan aliran Kelsenian tentang bahwa hukum atau secara positif
dan tertulis disebut undang-undang adalah sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau
penguasa).7 Kedua, proses penyusunan peraturan perundang-undangan
yang tidak melihat permasalahan – yang harus dipecahkan melalui hukum – secara
komprehensif dan multisektor (lintas sektoral), sehingga menghasilkan peraturan
perundangundangan yang tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat (henk in achterde feiten aan). Ketiga, harmonisasi antar peraturan
hukum yang belum bersimbiosis mutualisme, sehingga terdapat satu undang-undang yang arahnya
ke utara dan undang-undang lainnya ke selatan. Bertitik tolak
dari conflik of norm (perseteruan norma) akibat disharmonisasi ini
terjadi pula antara UUPA dengan Undang-Undang
Penanaman Modal. Keempat, lembaga
atau institusi pemerintahan yang berwenang dalam sesuatu bidang yang terkadang
tumpang tindih (overlapping) dengan institusi lainnya. Akibatnya adalah
terhadap lembaga mana yang berwenang membentuk hukum dan lembaga mana yang
berwenang untuk menerapkan hukum. Joyo Winoto menggunakan istilah “reforma”
seperti dalam istilah Spanyol “reforma” untuk
sinonim dari kata pembaharuan. Sebagaimana dalam naskah pidato yang disampaikan
dalam rangkaian Dies Natalis Universitas Padjadjaran ke-50 di
Bandung Tanggal 10 September 2007 yang berjudul
“Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Dalam pidatonya mengatakan bahwa reforma
agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur
agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan dan pembangunan wilayah. Memetik
pengalaman dari berbagai negara, reforma agraria secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori:8
Pertama: radical land reform,
tanah milik tuan tanah perkebunan luas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti
kerugian, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah; Kedua:
land restution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari
tanah-tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut
dikembalikan kepada pemilik asal dengan konpensasi; Ketiga:
land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru,
kemudian penduduk dari daerah yang pada penduduknya dipindahkan ke daerah baru
tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu; dan keempat: market based land reform
(market
assisted land reform), land reform yang
dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar yang bisa
berlangsung bila tanah-tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureship bekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan.
Model-model ini umumnya tidak bisa memenuhi prinsip land reform untuk
melakukan penataan penguasaan dan pemilikan tanah yang adil.
Mendesaknya reformasi pertanahan saat ini menurut Joyo Winoto9 sangat
didasarkan pada data kemiskinan terakhir BPS yang menunjukkan bahwa jumlah
orang miskin di Indonesia mencapai 37.170.000 jiwa atau 16,58%dari total
populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah
13,36%, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,9%. Ini menunjukkan bahwa
kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang pada
umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66%
berada di pedesaan dan sekitar 56% menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja keras,
tetapi tetap miskin. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat
terhadap sumbersumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang terutama
adalah tanah. Keseluruhan kehidupan di pedesaan ternyata memiliki percepatan
yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menata
kembali kehidupan
di pedesaan, dalam konteks keadilan dan pemerataan. Apa yang
dikemukakan Joyo Winoto di atas, sejalan dengan fakta yang dipaparkan dalam
RPJMN bahwa berdasarkan hasil Sensus Pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu
1983-2003 meningkat namun dengan jumlah lahan pertanian menurun, sehingga
rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1,30 ha
menjadi 0,2 ha per petani. Melalui luasan lahan usaha tani
seperti ini, meskipun produktivitas per luas lahan cukup tinggi, namun tidak
dapat memberikan pendapatan petani yang cukup untuk menghidupi rumah tangga dan
pengembangan usaha para petani. Hal ini merupakan tantangan besar dalam rangka
mengamankan produksi padi / beras dari dalam negeri untuk mendukung
ketahanan pangan nasional termasuk di dalamnya sektor agrobisnis
dan peningkatan daya saing komoditas pertanian. Hal ini sangat berbeda dengan
apa yang diterapkan di negara Malaysia , Thailand dan Taiwan karena ditentukan
secara limitatif batas minimum untuk lahan pertanian.10
Menghadapi fakta-fakta di atas, dapat menimbulkan pertanyaan,
apakah kenyataan tersebut berdiri sendiri tanpa sebab dari segala aspek,
termasuk aspek hukum?. Pada kenyataannya hukum juga memberi kontribusi yang
besar terhadap munculnya ketimpangan struktur penguasaan lahan bagi petani di
pedesaan, dan munculnya kemiskinan bagi petani di perdesaan. Antara lain
mengenai hak-hak atas tanah, yang masih belum ada sinkronisasi satu sama lain,
baik sinkronisasi vertikal maupun sinkronisasi horisontal. Antara UUD 1945 dan
UUPA dan antara UUPA dan undang-undang yang menyangkut tanah lainnya berserta
peraturan pelaksanaanya. Antara UUPA dan undang-undang sektoral lainnya,
seperti antara UUPA dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal khususnya dibidang jangka waktu hak-hak atas tanah.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, dirumuskan masalah yang akan
diteliti adalah bagaimana format kebijakan hukum masa depan yang mengungkap
perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal bidang agrobisnis?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan format
kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah
perorangan dan penanaman modal bidang agrobisnis.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach).11 Pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
dilakukan dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya peraturan
perundang-undangan, landasan filosofis peraturan perundang-undangan. Penelitian
ini mempergunakan bahan hukum primer (primary sources or authorities) dan bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities).12 Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh: Pertama, bahan hukum primer yang berupa aturan dasar dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tanah dan penanaman modal.
Melalui bahan-bahan hukum inilah diharapkan akan ditemukan format kebijakan
hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah perorangan dan
penanaman modal bidang agribisnis.
Kedua,
bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti: hasil-hasil penelitian terdahulu, karya ilmiah dari kalangan
ahli hukum dan non hukum yang relevan dengan obyek penelitian ini, risalah
persidangan pembentukan undang-undang; dan ketiga, bahan hukum tersier yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
berupa kamus dan ensiklopedi.13 Pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah
diskriptif kualitatif. Pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum. Sistematisasi berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan
pekerjaan analisis dan konstruksi.14
Hasil dan Pembahasan
Membedah pembangunan hukum agraria nasional, secara teoritik
tidak dapat dipisahkan dari teori hukum pembangunan yang telah dikemukakan oleh
Kusumaatmadja. Pendekatan ini merupakan pendekatan ilmu hukum sebagai ilmu (scientific legal approach) dan sekaligus sebagai pendekatan filsafat hukum (philosophical legal approach)
yang menjadi “bintang pemandu” dan dapat memverifikasi pentingnya paradigma
baru pembangunan hukum agraria nasional. Menurut Kusumaatmadja,”15 hukum
harus berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat” Teori hukum pembangunan
ini oleh Rasjidi16 sebagai berikut “Teori hukum pembangunan
Kusumaatmadja, kemudian lebih merupakan transformasi dari teori hukumnya
sendiri, ditambah dengan transformasi dari teori hukum Roescoe Pound. Tetapi
hal yang sangat penting harus diberi perhatian lebih adalah mentransformasi
teori hukum Pound. Kusumaatmadja dengan sangat ketat menyatakan bahwa ia
menolak konsepsi mekanis dari konsepsi “law as a tool of social engineering”, dan karenanya menggantikan istilah alat (a tool)
itu dengan istilah sarana”. Hakikat dari teori hukum pembangunan adalah bahwa
penggunaan kata “alat” terkesan mekanistik, sedangkan hukum harus melihat objek
yang diatur, yakni manusia (secara natural) bukan benda mati. Justru itu
digunakan istilah “sarana” dalam rangka memperbaharui masyarakat. Untuk
mendukung bekerjanya teori hukum pembangunan, maka digunakan konsep-konsep
dasar politik hukum (rechtspolitiek theorien) yang dalam referensi anglosaxis dikenal dengan
teori Kebijakan Hukum (Legal Policy Theory).17 Menurut
Budi Harsono,18 “Politik hukum berfungsi untuk menciptakan sistem
hukum nasional yang dikehendaki dengan titik berat pada dimensi hukum yang
dicitacitakan (ius constituendum)”. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik hukum
adalah bagian dari kajian hukum karena membicarakan perencanaan hukum (legal planning) dan perencanaan hukum (legal Drafting), yang bersubstansi pada bagaimana hukum
itu dikondisikan, konkordinasi hukum, penghalusan hukum,
plrurualisme hukum, unifikasi hukum dan lain-lain. Oleh sebab itu, politik
hukum yang terkait erat dengan upaya-upaya pembaharuan hukum adalah bagian
menata tata hukum yang ada, sehingga menunjang tercapainnya harmonisasi
perundang-undangan termasuk di dalamnya UUPA dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007. Upaya-upaya ke dalam reformasi hukum tanah di Indonesia sebenarnya
telah ada semenjak lahirnya UUPA namun masih ketinggalan dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat yang dinamis, sehingga belum terwujud dalam
bentuk norma hukum positif (ius constitutum),
namun reformasi terhadap hukum pertanahan tetap berlanjut dengan mengeluarkan
instrumen-instrumen peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan UUPA.
Namun pelaksanaan reformasi terhadap UUPA atau khususnya hukum tanah terdapat
pasang surut baik didalam pemerintahan Orde Lama maupun pemerintahan Orde Baru.
Setelah Orde Baru jatuh khusus mengenai pembaharuan UUPA dikeluarkan ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Beberapa alasan mendasar berkaitan dengan
terbitnya ketetapan MPR ini antara lain sebagai berikut:19 1. Sumber
daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu,
harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan
generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; 2. MPR
mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan
nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan
ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber daya alam; 3.
Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama ini
telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik; 4. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria/ sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;
5. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan
dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan
menampung dinamika,
aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan
konflik; 6. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar
dan arah bagi pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Demi menjamin terwujudnya idealisme
tersebut pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan
prinsip-prinsip antara lain:20 1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia; 3. menghormati supremasi
hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia; 5. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi,
dan optimalisasi partisipasi masyarakat; 6. mewujudkan keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; 7. memelihara keberlanjutan
yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun
generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung
lingkungan; 8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat; 9. meningkatkan
keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam
pelaksanaan pembaruan dan pengelolaan sumber daya agraria; 10. mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keagamaan budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam; 11. mengupayakan keseimbangan
hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota,
dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 12. melaksanakan
desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/ kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan
alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Sebagai bidang yang menyangkut kehidupan orang banyak perlu
adanya arah kebijakan pembaharuan agraria yang meliputi antara lain: 1.
melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; 2.
melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan
tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; 3.
Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah secara komprehensif dan
sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; 4.
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumber daya agraria yang timbul sekaligus dapat mengantisipasi
timbulnya konflik baru; 5. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam
rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria; 6. mengupayakan
dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan
agraria. Di samping itu arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam ditekankan
antara lain : 1. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundangundangan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor; 2. mewujudkan optimalisasi pemanfaatan
berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam; 3. memperluas pemberian akses informasi kepada
masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong
terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan
termasuk teknologi tradisional; 4. memperhatikan sifat dan karakteristik dari
berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai
tambah dari produk sumber daya alam; 5. menyelesaikan konflik-konflik
pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus mengantisipasi
potensi konflik dimasa mendatang; 6. mengupayakan pemulihan ekosistim yang
telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan; 7. Menyusun
strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan kepada optimalisasi
manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan
kondisi daerah maupun nasional. Dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ini terlihat ke arah mana pembaharuan UUPA dan sumber daya alam harus
direalisasikan. Untuk melaksanakan ketetapan MPR, Majelis Permusyawaratan
Rakyat mengingatkan kembali perlunya reformasi agraria dengan dikeluarkannya
keputusan MPR nomor 5 Tahun 2003 dan untuk menindaklanjuti, maka pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional
di bidang Pertanahan yang intinya menekankan langkah-langkah yang harus
dilakukan antara lain :21 1. Penyusunan rancangan undang-undang penyempurnaan
undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dan rancangan undang-undang Tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan
lainnya di bidang pertanahan; 2. pembangunan sistem informasi dan manajemen
pertanahan yang meliputi : a) penyusunan basis data tanah, tanah asset
negara/daerah; b) penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan
pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah; c)
pemetaan kadestral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra
satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan
landreform dan pemberian hak atas tanah; d) pembangunan dan pengembangan
pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi
dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam
rangka memelihara ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan
tujuan kebijakan pertanahan tersebut perlu dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:22 1. reformasi peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pertanahan, mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang
memayungi keseluruhan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya,
sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pertanahan, revisi seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
2. pengembangan kelembagaan pertanahan, menentukan kewenangan bidang pertanahan
antar sektor dan tingkat pemerintah, menentukan struktur kelembagaan pertanahan
dan memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai tugas dan fungsinya; 3.
meningkatkan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya; 4. mengembangkan
penatagunaan tanah secara kompreshensif sesuai dengan karakteristik dan daya
dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip good
governance (transparasi, partisipasi dan akuntabel); 5.
mengembangkan sistem informasi berbasis tanah dengan menentukan dan
mengembangkan standard sistem informasi tanah; 6. penyelesaikan sengketa tanah
secara konfrenhensif; 7. mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah-satu
instrumen dalam
distribusi asset tanah yang berkeadilan; 8. perlindungan hak-hak
masyarakat atas tanah; 9. peningkatan akses dan asset tanah terhadap seluruh
masyarakat. Untuk melaksanakan perintah ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IX Tahun 2001 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 telah
dilakukan gagasan-gagasan ke arah reformasi hukum tanah nasional atau UUPA,
baik yang digaungkan oleh para akademisi hukum tanah, maupun oleh para
politisi, termasuk para birokrasi pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dalam bentuk antara
lain Naskah Akademis (academic draft)
rancangan undang-undang hak tanah. Sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya
reformasi hukum agraria nasional sesungguhnya pernah digagas di Badan
Pertanahan Nasional (BPN), dalam bentuk rencana revisi terhadap UUPA yang
drafnya telah dilakukan uji publik kebeberapa kota besar di Indonesia, namun
belum terrealisasi. Dari hasil penelitian, peneliti belum menemukan jawaban
yang jelas, sehingga upaya amandemen terhadap UUPA belum dapat diteruskan
(dalam rangka untuk disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat sekarang ini). Sehingga perlu segera dipikirkan untuk
membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Atas Tanah yang berfungsi
sebagai lex spesialist dari UUPA. Hal ini perlu dikaji ulang dalam rangka
memberikan perlindungan hak-hak atas tanah baik secara perorangan maupun dalam
rangka penanaman modal bidang agrobisnis. Diharapkan melalui rancangan
undangundang ini mengatur secara komprehensif bagaimana menata asset dan akses
masyarakat terhadap tanah, termasuk didalamnya mengatur status tanah,
penyederhanaan hak atas tanah, pengakuan hak ulayat dan perlindungan terhadap
tanah-tanah yang produktif, misalnya tanah sawah yang subur beririgasi. Dalam
upaya membuat Rancangan Undang-Undang tentang Hak Tanah perlu dicermati
pengaturan hak atas tanah baik sebagian lembaga hukum maupun ditinjau dari
aspek hubungan hukum konkrit, ditemukan berbagai hambatan terutama terkait
dengan permasalahan regulasi, yaitu antara lain:
Daftar Pustaka
Arifin, Winarsih & Farida Soemargono, Kamus Prancis Indonesia; Dictionnaaire
Francais – Indonesien, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Ginting, Darwin, Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis di
Indonesia, Unpad Press, Bandung, 2009. ______,
Kepemilikan Hak Atas
Tanah Bidang Agribisnis di Indonesia,
Gahlia Indonesia, Jakarta, 2010.
Guindel, Milagros, Kamus Spanyol Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Harsono, Budi, Reformasi Hukum Tanah Yang Berpihak Kepada Rakyat, Mandar Maju, Bandung, 1991.
I., Syaukani & Thohari A.A, Dasar-dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
L., Rasjidi & I.B.W Putra, Hukum sebagai suatu sistem. Mandar Maju, Bandung, 2003.
Lewi, Michael, Teologi Pembebasan,
Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Cet.II, Yogyakarta, 2000.
M. Echols, John & Hasan Sadily, Kamus Inggris – Indonesia; An English –
Indonesian Dictionary, Cornell
University Press – Gramedia, Itacha and London – Jakarta,1995.
M., Kusumaatmadja, Konsep-konsep hukum dalam pembangunan. Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan
Bekerjasama dengan Alumni, Bandung, 2002.
Moeiman, Susi & Hein Steinhauer, Kamus Belanda – Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
______, & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006
Suparji, Penanaman Modal Asing di Indonesia, Insentif V. Pembatasan, Jakarta, Universitas
Al-Azhar Indonesia, tahun 2008,
Winoto, Joyo, Reformasi Agraria Dan Keadilan Sosial, Bandung, Pidato Ilmiah yang disampaikan dalam
rangakaian Dies Natalis Universitas Padjajaran ke 50 tanggal 10 September 2007.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang
Pertanahan.
Nama anggota kelompok :
-Herdian Perdana (23212417)
-Bayu Prakoso (21212394)
-Rakayuda Saputra (25212967)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar