Minggu, 04 Mei 2014

Reformasi Hukum Tanah dalam Rangka Perlindungan Hak Atas Tanah Perorangan dan Penanam Modal dalam Bidang Agrobisnis



Darwin Ginting
Sekplah Tinggi Hukum Bandung
Jl. Cihampelas No. 8 Bandung
Abstrak
Penelitian ini mengkaji format kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal di bidang agrobisnis. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertama, perlu segera dilakukan pembentukan rancangan undang-undang hak atas tanah, sehingga dapat menunjang kepastian hak atas tanah bagi perorangan dan kepastian hukum bagi setiap sektor penanaman modal, lebih khususnya bidang agrobisnis; kedua, pembentukan perundang-undangan tersebut mengedepankan aspirasi masyarakat dan masyarakat industri bidang agrobisnis.

Pendahuluan
Sebelum membahas secara detail dan komprehensif mengenai reformasi hukum tanah dalam rangka perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal (investor), maka terlebih dahulu diuraikan mengenai istilah reformasi, dengan maksud agar tidak terjadi salah pengertian tentang reformasi itu. Istilah reformasi mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tumbangnya Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dari kursi pemerintahannya. Kata reformasi1 itu sendiri dikenal dalam berbagai bahasa, seperti kata reforme dalam bahasa Perancis yang berarti perubahan atau pembaharuan.2 Dalam bahasa Spanyol dengan istilah reforma yang berarti perbaikan atau pembaharuan.3 Di dalam bahasa Belanda terdapat kata reformatie yang berarti reformasi,4 yang juga dijumpai dalam bahasa Inggris dengan kata reformation,5 sama pengertian dalam bahasa Belanda yang berarti reformasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata reformasi diartikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.6 Reformasi hukum itu sendiri adalah upaya-upaya perubahan secara radikal sistem hukum, yang didalamnya terdapat : Pertama, cara berpikir terhadap hukum yang selama ini masih dipengaruhi oleh ajaran Austin dan aliran Kelsenian tentang bahwa hukum atau secara positif dan tertulis disebut undang-undang adalah sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa).7 Kedua, proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tidak melihat permasalahan – yang harus dipecahkan melalui hukum – secara komprehensif dan multisektor (lintas sektoral), sehingga menghasilkan peraturan perundangundangan yang tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat (henk in achterde feiten aan). Ketiga, harmonisasi antar peraturan hukum yang belum bersimbiosis mutualisme, sehingga terdapat satu undang-undang yang arahnya ke utara dan undang-undang lainnya ke selatan. Bertitik tolak dari conflik of norm (perseteruan norma) akibat disharmonisasi ini terjadi pula antara UUPA dengan Undang-Undang
Penanaman Modal. Keempat, lembaga atau institusi pemerintahan yang berwenang dalam sesuatu bidang yang terkadang tumpang tindih (overlapping) dengan institusi lainnya. Akibatnya adalah terhadap lembaga mana yang berwenang membentuk hukum dan lembaga mana yang berwenang untuk menerapkan hukum. Joyo Winoto menggunakan istilah “reforma” seperti dalam istilah Spanyol “reforma” untuk sinonim dari kata pembaharuan. Sebagaimana dalam naskah pidato yang disampaikan dalam rangkaian Dies Natalis Universitas Padjadjaran ke-50 di
Bandung Tanggal 10 September 2007 yang berjudul “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Dalam pidatonya mengatakan bahwa reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan dan pembangunan wilayah. Memetik pengalaman dari berbagai negara, reforma agraria secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori:8 Pertama: radical land reform, tanah milik tuan tanah perkebunan luas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti kerugian, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah; Kedua: land restution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah-tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut
dikembalikan kepada pemilik asal dengan konpensasi; Ketiga: land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru, kemudian penduduk dari daerah yang pada penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu; dan keempat: market based land reform (market assisted land reform), land reform yang dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar yang bisa berlangsung bila tanah-tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureship bekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan. Model-model ini umumnya tidak bisa memenuhi prinsip land reform untuk
melakukan penataan penguasaan dan pemilikan tanah yang adil. Mendesaknya reformasi pertanahan saat ini menurut Joyo Winoto9 sangat didasarkan pada data kemiskinan terakhir BPS yang menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37.170.000 jiwa atau 16,58%dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36%, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,9%. Ini menunjukkan bahwa
kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66% berada di pedesaan dan sekitar 56% menggantungkan hidupnya dari pertanian. Seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja keras, tetapi tetap miskin. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap sumbersumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang terutama adalah tanah. Keseluruhan kehidupan di pedesaan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan
di pedesaan, dalam konteks keadilan dan pemerataan. Apa yang dikemukakan Joyo Winoto di atas, sejalan dengan fakta yang dipaparkan dalam RPJMN bahwa berdasarkan hasil Sensus Pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu 1983-2003 meningkat namun dengan jumlah lahan pertanian menurun, sehingga rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1,30 ha
menjadi 0,2 ha per petani. Melalui luasan lahan usaha tani seperti ini, meskipun produktivitas per luas lahan cukup tinggi, namun tidak dapat memberikan pendapatan petani yang cukup untuk menghidupi rumah tangga dan pengembangan usaha para petani. Hal ini merupakan tantangan besar dalam rangka mengamankan produksi padi / beras dari dalam negeri untuk mendukung
ketahanan pangan nasional termasuk di dalamnya sektor agrobisnis dan peningkatan daya saing komoditas pertanian. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diterapkan di negara Malaysia , Thailand dan Taiwan karena ditentukan secara limitatif batas minimum untuk lahan pertanian.10
Menghadapi fakta-fakta di atas, dapat menimbulkan pertanyaan, apakah kenyataan tersebut berdiri sendiri tanpa sebab dari segala aspek, termasuk aspek hukum?. Pada kenyataannya hukum juga memberi kontribusi yang besar terhadap munculnya ketimpangan struktur penguasaan lahan bagi petani di pedesaan, dan munculnya kemiskinan bagi petani di perdesaan. Antara lain mengenai hak-hak atas tanah, yang masih belum ada sinkronisasi satu sama lain, baik sinkronisasi vertikal maupun sinkronisasi horisontal. Antara UUD 1945 dan UUPA dan antara UUPA dan undang-undang yang menyangkut tanah lainnya berserta peraturan pelaksanaanya. Antara UUPA dan undang-undang sektoral lainnya, seperti antara UUPA dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal khususnya dibidang jangka waktu hak-hak atas tanah.

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana format kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal bidang agrobisnis?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan format kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal bidang agrobisnis.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach).11 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-undangan, landasan filosofis peraturan perundang-undangan. Penelitian ini mempergunakan bahan hukum primer (primary sources or authorities) dan bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities).12 Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh: Pertama, bahan hukum primer yang berupa aturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tanah dan penanaman modal. Melalui bahan-bahan hukum inilah diharapkan akan ditemukan format kebijakan hukum masa depan yang mengungkap perlindungan hak atas tanah perorangan dan penanaman modal bidang agribisnis.

Kedua, bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian terdahulu, karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan non hukum yang relevan dengan obyek penelitian ini, risalah persidangan pembentukan undang-undang; dan ketiga, bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan ensiklopedi.13 Pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.14

Hasil dan Pembahasan
Membedah pembangunan hukum agraria nasional, secara teoritik tidak dapat dipisahkan dari teori hukum pembangunan yang telah dikemukakan oleh Kusumaatmadja. Pendekatan ini merupakan pendekatan ilmu hukum sebagai ilmu (scientific legal approach) dan sekaligus sebagai pendekatan filsafat hukum (philosophical legal approach) yang menjadi “bintang pemandu” dan dapat memverifikasi pentingnya paradigma baru pembangunan hukum agraria nasional. Menurut Kusumaatmadja,”15 hukum harus berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat” Teori hukum pembangunan ini oleh Rasjidi16 sebagai berikut “Teori hukum pembangunan Kusumaatmadja, kemudian lebih merupakan transformasi dari teori hukumnya sendiri, ditambah dengan transformasi dari teori hukum Roescoe Pound. Tetapi hal yang sangat penting harus diberi perhatian lebih adalah mentransformasi teori hukum Pound. Kusumaatmadja dengan sangat ketat menyatakan bahwa ia menolak konsepsi mekanis dari konsepsi “law as a tool of social engineering”, dan karenanya menggantikan istilah alat (a tool) itu dengan istilah sarana”. Hakikat dari teori hukum pembangunan adalah bahwa penggunaan kata “alat” terkesan mekanistik, sedangkan hukum harus melihat objek yang diatur, yakni manusia (secara natural) bukan benda mati. Justru itu digunakan istilah “sarana” dalam rangka memperbaharui masyarakat. Untuk mendukung bekerjanya teori hukum pembangunan, maka digunakan konsep-konsep dasar politik hukum (rechtspolitiek theorien) yang dalam referensi anglosaxis dikenal dengan teori Kebijakan Hukum (Legal Policy Theory).17 Menurut Budi Harsono,18 “Politik hukum berfungsi untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dengan titik berat pada dimensi hukum yang dicitacitakan (ius constituendum)”. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik hukum adalah bagian dari kajian hukum karena membicarakan perencanaan hukum (legal planning) dan perencanaan hukum (legal Drafting), yang bersubstansi pada bagaimana hukum
itu dikondisikan, konkordinasi hukum, penghalusan hukum, plrurualisme hukum, unifikasi hukum dan lain-lain. Oleh sebab itu, politik hukum yang terkait erat dengan upaya-upaya pembaharuan hukum adalah bagian menata tata hukum yang ada, sehingga menunjang tercapainnya harmonisasi perundang-undangan termasuk di dalamnya UUPA dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Upaya-upaya ke dalam reformasi hukum tanah di Indonesia sebenarnya telah ada semenjak lahirnya UUPA namun masih ketinggalan dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat yang dinamis, sehingga belum terwujud dalam bentuk norma hukum positif (ius constitutum), namun reformasi terhadap hukum pertanahan tetap berlanjut dengan mengeluarkan instrumen-instrumen peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan UUPA. Namun pelaksanaan reformasi terhadap UUPA atau khususnya hukum tanah terdapat pasang surut baik didalam pemerintahan Orde Lama maupun pemerintahan Orde Baru. Setelah Orde Baru jatuh khusus mengenai pembaharuan UUPA dikeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Beberapa alasan mendasar berkaitan dengan terbitnya ketetapan MPR ini antara lain sebagai berikut:19 1. Sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; 2. MPR mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber daya alam; 3. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; 4. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; 5. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika,
aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; 6. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Demi menjamin terwujudnya idealisme tersebut pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan prinsip-prinsip antara lain:20 1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3. menghormati supremasi
hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; 5. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi masyarakat; 6. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; 7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; 8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat; 9. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan dan pengelolaan sumber daya agraria; 10. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keagamaan budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam; 11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/ kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Sebagai bidang yang menyangkut kehidupan orang banyak perlu adanya arah kebijakan pembaharuan agraria yang meliputi antara lain: 1. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; 2. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; 3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; 4. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumber daya agraria yang timbul sekaligus dapat mengantisipasi timbulnya konflik baru; 5. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria; 6. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria. Di samping itu arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam ditekankan antara lain : 1. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; 2. mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam; 3. memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional; 4. memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam; 5. menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang; 6. mengupayakan pemulihan ekosistim yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan; 7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan kepada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ini terlihat ke arah mana pembaharuan UUPA dan sumber daya alam harus direalisasikan. Untuk melaksanakan ketetapan MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengingatkan kembali perlunya reformasi agraria dengan dikeluarkannya keputusan MPR nomor 5 Tahun 2003 dan untuk menindaklanjuti, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan yang intinya menekankan langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain :21 1. Penyusunan rancangan undang-undang penyempurnaan undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan rancangan undang-undang Tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan; 2. pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi : a) penyusunan basis data tanah, tanah asset negara/daerah; b) penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah; c) pemetaan kadestral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah; d) pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam
rangka memelihara ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:22 1. reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang memayungi keseluruhan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya, sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pertanahan, revisi seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; 2. pengembangan kelembagaan pertanahan, menentukan kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat pemerintah, menentukan struktur kelembagaan pertanahan dan memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai tugas dan fungsinya; 3. meningkatkan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya; 4. mengembangkan penatagunaan tanah secara kompreshensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip good governance (transparasi, partisipasi dan akuntabel); 5. mengembangkan sistem informasi berbasis tanah dengan menentukan dan mengembangkan standard sistem informasi tanah; 6. penyelesaikan sengketa tanah secara konfrenhensif; 7. mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah-satu instrumen dalam
distribusi asset tanah yang berkeadilan; 8. perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah; 9. peningkatan akses dan asset tanah terhadap seluruh masyarakat. Untuk melaksanakan perintah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 telah dilakukan gagasan-gagasan ke arah reformasi hukum tanah nasional atau UUPA, baik yang digaungkan oleh para akademisi hukum tanah, maupun oleh para politisi, termasuk para birokrasi pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam bentuk antara
lain Naskah Akademis (academic draft) rancangan undang-undang hak tanah. Sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya reformasi hukum agraria nasional sesungguhnya pernah digagas di Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam bentuk rencana revisi terhadap UUPA yang drafnya telah dilakukan uji publik kebeberapa kota besar di Indonesia, namun belum terrealisasi. Dari hasil penelitian, peneliti belum menemukan jawaban yang jelas, sehingga upaya amandemen terhadap UUPA belum dapat diteruskan (dalam rangka untuk disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat sekarang ini). Sehingga perlu segera dipikirkan untuk membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Atas Tanah yang berfungsi sebagai lex spesialist dari UUPA. Hal ini perlu dikaji ulang dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak atas tanah baik secara perorangan maupun dalam rangka penanaman modal bidang agrobisnis. Diharapkan melalui rancangan undangundang ini mengatur secara komprehensif bagaimana menata asset dan akses masyarakat terhadap tanah, termasuk didalamnya mengatur status tanah, penyederhanaan hak atas tanah, pengakuan hak ulayat dan perlindungan terhadap tanah-tanah yang produktif, misalnya tanah sawah yang subur beririgasi. Dalam upaya membuat Rancangan Undang-Undang tentang Hak Tanah perlu dicermati pengaturan hak atas tanah baik sebagian lembaga hukum maupun ditinjau dari aspek hubungan hukum konkrit, ditemukan berbagai hambatan terutama terkait dengan permasalahan regulasi, yaitu antara lain:

Daftar Pustaka
Arifin, Winarsih & Farida Soemargono, Kamus Prancis Indonesia; Dictionnaaire Francais – Indonesien, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

Ginting, Darwin, Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis di Indonesia, Unpad Press, Bandung, 2009. ______, Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis di Indonesia, Gahlia Indonesia, Jakarta, 2010.

Guindel, Milagros, Kamus Spanyol Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Harsono, Budi, Reformasi Hukum Tanah Yang Berpihak Kepada Rakyat, Mandar Maju, Bandung, 1991.

I., Syaukani & Thohari A.A, Dasar-dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

L., Rasjidi & I.B.W Putra, Hukum sebagai suatu sistem. Mandar Maju, Bandung, 2003.

Lewi, Michael, Teologi Pembebasan, Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Cet.II, Yogyakarta, 2000.

M. Echols, John & Hasan Sadily, Kamus Inggris – Indonesia; An English – Indonesian Dictionary, Cornell University Press – Gramedia, Itacha and London – Jakarta,1995.

M., Kusumaatmadja, Konsep-konsep hukum dalam pembangunan. Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Alumni, Bandung, 2002.

Moeiman, Susi & Hein Steinhauer, Kamus Belanda – Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
______, & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006
Suparji, Penanaman Modal Asing di Indonesia, Insentif V. Pembatasan, Jakarta, Universitas Al-Azhar Indonesia, tahun 2008,

Winoto, Joyo, Reformasi Agraria Dan Keadilan Sosial, Bandung, Pidato Ilmiah yang disampaikan dalam rangakaian Dies Natalis Universitas Padjajaran ke 50 tanggal 10 September 2007.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan.



Nama anggota kelompok :
-Herdian Perdana (23212417)
-Bayu Prakoso (21212394)
-Rakayuda Saputra (25212967)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar